Rabu, 20 Februari 2013

Agamamu, Agamaku, Satukan Kita?

18 Februari 2013
Semalam suaramu mengalir begitu lembut melalui sambungan telepon. Entah sudah berapa minggu kita tidak bertemu. Entah sudah berapa hari aku dan kamu (terpaksa) tak saling memandang dan menatap. Karena takdir sedang mainkan perannya, karena nasib teguhkan langkah kakinya. Aku dan kamu tak bisa apa-apa, terutama saat otang menganggap kita salah, saat kita layaknya tahanan cinta yang menyerah pada hukum agama. Terang tak dapat bersatu dengan gelap.

Kau ingin tahu satu hal tentangku? Aku sangat merindukan kamu. Aku rindu pada saat kamu menungguku di depan gereja seusai kebaktian sore. Aku rindu saat kita makan mi ayam kesukaan kita. Aku rindu saat menunggumu selesai sholat jumat. Aku sangat suka senyummu yang tersimpul malu dibalik bibirmu. Sungguh, aku sangat rindu pertemuan kita, aku rindu menghabiskan waktu bersamamu. Dan... entahlah mengapa kebahagiaan itu menjadi tampak semakin pudar akibat orang-orang yang bahkan tak mengenal dan mengerti kondisi kita. Maukah kau katakan kepada mereka yang membenci kita? Bahwa sebenarnya kita bukanlah seorang pendosa. Maukah kau yakinkan mereka? Bahwa aku dan kamu tak sehina yang mereka pikirkan. Haruskah kita mengakhiri semua ketika nyatanya bahagia selalu menghiasi kebersamaan kita? Haruskah kita menyerah pada persepsi yang mengatakan bahwa kita bersalah? Haruskah kita berpisah karena berbeda agama? Apa salahku dan salahmu?

Aku mengenalmu sebagai sosok yang sangat gigih. Kamu juga mengenalku sebagai sosok yang tegar. Selama kita bersama, tidak pernah terllihat air mata kita jatuh setitikpun. Tapi... ternyata pada akhirnya kita menyerah, menyerah pada takdir yang awalnya mempertemukan kita juga yang memisahkan kita. Apakah hatimu patah? Apakah sayap-sayapmu yang dulu sempat memelukku juga patah? Apakah ada tangis yang luruh dari matamu yang indah? Aku tak tahu mengapa norma agama harus membedakan kita, sehingga aku dan kamu memiliki sekat dan jarak, membuat kita terlihat tak lagi sama, membuat kita (terpaksa) berpisah. Sebenarnya, apa salahku dan salahmu? Kita tak pamer kemesraan seperti pasangan-pasangan tolol lainnya, kita juga tidak membuat video mesum sebagai sebab terjadinya zina, kita tidak melanggar norma asusila, tapi mengapa dimata semia orang kita terlihat seperti sampah?

Sayang, sungguh aku tak ingin tersiksa seperti ini, sungguh aku tak ingin perpisahan kita menjadi sebab tangisku dan tangismu. Aku ingin semua kembali seperti dulu. Aku ingin tawarenyahmu dan senyum manismu menghiasi mozaik hari-hariku. Kebahagiaan kita terenggut oleh sesuatu yang kita sebut norma, sesuatu yang seharusnya mengatur tapi malah menyakiti kita.Sebenarnya, mereka yang menyalahkan kita adalah mereka yang tak benar-benar mengenal kita. Tugas cinta adalah menyatukan, lalu salahkan cinta jika dia menyatukan kita yang berbeda?Bukankah kita hanya saling jatuh cinta? Apa yang salah, sayang? Katakan apa yang salah?

Aku menulis surat ini sesaat sebelum pengakuan dosaa, Pastor sudah berada di dalam ruangan, aku masih di luar, sedang menormalkan frekuensi detak jantungku yang kian menit kian tak berirama. Dengan menulis ini mungkin aku bisa merasa sedikit tenang. Aku mungkin akan bercerita banyak pada pastor, air mataku mungkin akan kembali menetes, dan berkali-kali aku mungkin akan mengulang cerita yang sama, cerita tentangmu. Di dalam ruangan pengakuan dosa, aku pasti mengakui banyak dosa yang telah kulakukan. Dan... mungkin dosa yang kuakui pertama kali adalah mencintaimu. Mencintaimu... dosa termanis bagiku.

#Dari masa lalumu, rumah untuk tawa dan tangismu
Posted via BlogPost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 20 Februari 2013

Agamamu, Agamaku, Satukan Kita?

18 Februari 2013
Semalam suaramu mengalir begitu lembut melalui sambungan telepon. Entah sudah berapa minggu kita tidak bertemu. Entah sudah berapa hari aku dan kamu (terpaksa) tak saling memandang dan menatap. Karena takdir sedang mainkan perannya, karena nasib teguhkan langkah kakinya. Aku dan kamu tak bisa apa-apa, terutama saat otang menganggap kita salah, saat kita layaknya tahanan cinta yang menyerah pada hukum agama. Terang tak dapat bersatu dengan gelap.

Kau ingin tahu satu hal tentangku? Aku sangat merindukan kamu. Aku rindu pada saat kamu menungguku di depan gereja seusai kebaktian sore. Aku rindu saat kita makan mi ayam kesukaan kita. Aku rindu saat menunggumu selesai sholat jumat. Aku sangat suka senyummu yang tersimpul malu dibalik bibirmu. Sungguh, aku sangat rindu pertemuan kita, aku rindu menghabiskan waktu bersamamu. Dan... entahlah mengapa kebahagiaan itu menjadi tampak semakin pudar akibat orang-orang yang bahkan tak mengenal dan mengerti kondisi kita. Maukah kau katakan kepada mereka yang membenci kita? Bahwa sebenarnya kita bukanlah seorang pendosa. Maukah kau yakinkan mereka? Bahwa aku dan kamu tak sehina yang mereka pikirkan. Haruskah kita mengakhiri semua ketika nyatanya bahagia selalu menghiasi kebersamaan kita? Haruskah kita menyerah pada persepsi yang mengatakan bahwa kita bersalah? Haruskah kita berpisah karena berbeda agama? Apa salahku dan salahmu?

Aku mengenalmu sebagai sosok yang sangat gigih. Kamu juga mengenalku sebagai sosok yang tegar. Selama kita bersama, tidak pernah terllihat air mata kita jatuh setitikpun. Tapi... ternyata pada akhirnya kita menyerah, menyerah pada takdir yang awalnya mempertemukan kita juga yang memisahkan kita. Apakah hatimu patah? Apakah sayap-sayapmu yang dulu sempat memelukku juga patah? Apakah ada tangis yang luruh dari matamu yang indah? Aku tak tahu mengapa norma agama harus membedakan kita, sehingga aku dan kamu memiliki sekat dan jarak, membuat kita terlihat tak lagi sama, membuat kita (terpaksa) berpisah. Sebenarnya, apa salahku dan salahmu? Kita tak pamer kemesraan seperti pasangan-pasangan tolol lainnya, kita juga tidak membuat video mesum sebagai sebab terjadinya zina, kita tidak melanggar norma asusila, tapi mengapa dimata semia orang kita terlihat seperti sampah?

Sayang, sungguh aku tak ingin tersiksa seperti ini, sungguh aku tak ingin perpisahan kita menjadi sebab tangisku dan tangismu. Aku ingin semua kembali seperti dulu. Aku ingin tawarenyahmu dan senyum manismu menghiasi mozaik hari-hariku. Kebahagiaan kita terenggut oleh sesuatu yang kita sebut norma, sesuatu yang seharusnya mengatur tapi malah menyakiti kita.Sebenarnya, mereka yang menyalahkan kita adalah mereka yang tak benar-benar mengenal kita. Tugas cinta adalah menyatukan, lalu salahkan cinta jika dia menyatukan kita yang berbeda?Bukankah kita hanya saling jatuh cinta? Apa yang salah, sayang? Katakan apa yang salah?

Aku menulis surat ini sesaat sebelum pengakuan dosaa, Pastor sudah berada di dalam ruangan, aku masih di luar, sedang menormalkan frekuensi detak jantungku yang kian menit kian tak berirama. Dengan menulis ini mungkin aku bisa merasa sedikit tenang. Aku mungkin akan bercerita banyak pada pastor, air mataku mungkin akan kembali menetes, dan berkali-kali aku mungkin akan mengulang cerita yang sama, cerita tentangmu. Di dalam ruangan pengakuan dosa, aku pasti mengakui banyak dosa yang telah kulakukan. Dan... mungkin dosa yang kuakui pertama kali adalah mencintaimu. Mencintaimu... dosa termanis bagiku.

#Dari masa lalumu, rumah untuk tawa dan tangismu
Posted via BlogPost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Subscribe